Aku ..
Untaian kata yang terlalu sering kubaca dibuku harianku.Bukan buku, lebih tepatnya.. jurnal dimana aku menuliskan semua yang aku alami. Setiap kali aku bosan, hanya Allah dan buku harianku yang aku jadikan pelampiasan tanpa tanggung jawab itu. Dan saat ini ada banyak tempat untuk aku menuang kata-kata, dimading kamar, dimading masjid bahkan kadang saat aku sedang lelah untuk mendengarkan suara guru yang dengan setianya duduk didepan kelas.
Hari ini pun, entah apa yang membuat semangat ini tibatiba hilang.Iya, seakan semangat itu seperti sayap sayap yang tibatiba lenyap, bukan patah.Sayap yang kupunyai itu hanyalah bayangan semu seperti dilayar LCD, aku sendiri tidak mampu menyentuhnya.Makanya sayap itu tidak patah, tapi lenyap seketika.
Aku merasa ada yang sulit aku jelaskan.Hanya desahan yang keluar dari nafas, itu saja temanku berkomentar.Bagaimana nantinya aku menyeritakan semuanya?Tidak, aku tidak bisa.Enggan dan tidak sudi.Aku sulit merangkai kata dalam berbicara jika suasana hatiku sedang tidak baik.Tapi yang aku tahu, aku ridu seseorang yang bahkan, mungkin sudah melupakanku.Jalan ini yang membuatku, menuntutku untuk tidak mengeluh. Dan disholat dhuha tadi, aku seperti terpaku dalam doa.Enggan kembali kekelas dan selalu ingin menuturkan semuanya kepada Dia.Saat ini, detik ini dan perasaan ini kembali bercampu aduk seperti kopi hitam pahit yang diaduk aduk.Pahit.Pahit.Pahit!Ah, aku tidak merindukan seseorang, aku.. ha..nya hanya takut akan ketidakpastian masa depan.Meski berulang kali kukatakan 'Allah bersamamu.always and never let me down'
Sudah .. sudah lupakan, bangkit dari kehampaan.Berkarya agar tidak terlalu jenuh menjalani datarnya suka dan duka.Kepakkan sayapmu~
Kamis, 08 Januari 2015
Selasa, 06 Januari 2015
Senja Diakhir Desember
“Bunda ..Bunda“
teriakanakkecildariseberangjalan.
“SudahSendu, Bundamaupergi, kamusama Ayah yadisini”
ucapseoranglaki-lakiumurnyasekitar 30 tahun.
Anak yang masihberumur 5 tahuntiumeronta-ronta, terisak.
“Ayah ..Bundajahaaat.”Ujaranakmanisitu, nafasnyatercekat.
Tenggorokannyakeringtetapitetapberusahaberteriak.BerharapBundanyaturundaritaksi
yang ber plat AB 9876 BC. Namuntaksiitubergerakperlahan,
meninggalkanjalandepanrumah.
SosokIbu yang beradadibalikkacaitu, memandangiputrinyadariluar.
Ada rasa
engganmeninggalkananaksematawayangnyaitumenangis.Iaakanmerindukansaat-saatmembacakanayatsuci
Al Quran untuknya. Seberkasembunada di kilatanmatakeluargakecil yang
telahretakitu.
“Sendu, ayokitamasuk.Bundapastipulang” bujuk Rudi, ayahnya.
Anakkecildenganrambutpanjanghitamberkilauitumenurut,
membiarkandirinyaberadadipundakAyahnya.Rasa
lelahterlihatdiwajahnya.Sendumasihmengenakanpakaianseragamnya.
“Kuatkanhatimunak, semogakamutegar” bisik Rudi dalamhati.
Rudi memboponganaknyadengansegoreslukadihatinya,
dalamkebimbangan.Iataktahubagaimanamenjadi ayah sekaligusibu yang
baikuntukanakkesayangannyaitu.
Sedangkandiasibukdikantor.Pastiakanbanyakkasihsayang yang berkurang.
Semenjakkejadianitu,
Senduhanyutdalamkesendiriannya.Diabahkantidakmemperdulikandirinya.Wajahnyatampaksemakinsendu.
“Sendu, Mbokpunyakabargembiranih. Sendumautahu?”
celetukMbokInemdenganriangnya.
“ApaMbok?” tanyaSendudatar, diatidaktertariksamasekali.
“Hmmm tebakdulu dong, hehe”
jawabMbokInemmembuatpenasaranSendu.
“Mbokdapetrejekinomplokyaa?” tebakSendu.
“Woo salah. Ada temenbarukamunon. Namanya den Raka,
diabarupindahkemaren. DirumahnenekSatinah.
“TrusSenduharusgimana?Tanya nyasinis.
“Diapengenmaenkesinicantik” ucapperempuanparuhbayaitu,
mencubitpipiSendu.
“Ohhh..”
Beberapasaatkemudian bell
gerbangberbunyi.TerdenganpaksatpammembukakangerbangdanMbokInemnyelonongpergi.
“SiapaMbok?” teriakSendudariteras.
“Pak pos ..eh den Raka, marisilahkanmasuk”
sahutMbokInemsedikittidakjelas.
“Apaa?Rakatukangpos?”
“Bukaaansayang, maksudnyaadapaktukangposjuga”
“SuratdariSingapurMbak, mohontandatangandisini” sela tukang pos yang biasanya memakai
sesuatu yang berbau oranye itu.
“Oh ya? Dari
siapa ya? Saya kira tidak ada saudara pak Rudiyang berada disana” kata Mbok
Inem dalam hati.
“Silahkan dibuka,
saya pamit Mbak. Monggo” pamit pak pos.
Mbok Inem segera
membawa paket yang bersampul cokelat itu.
Disana tertuliskan
“To Sendu Unzilah Fauiza
Jl. Candra Kirana No6 Yogyakarta”
Dan ketika Mbok
Inem membalik sampul, ada nama Kirana, Ibunda Sendu. Segera langkahnya
dipercepat.
“Sendu .. ada
kabar gembira lagi sayang !! “ teriak Mbok Inem lantang.
“Apalagi Mbok?”
“Bundamu mok Inem
mengirimkan sebuah surat” jawab Mbok Inem lalu memeluk Sendu.
Ada rasa haru
saat dia mengatakan itu. Sudah dua tahun ini, Kirana tidak pernah memberikan
kabar. Tak bisa tergambar lagi kerinduan Sendu yang tersimpan didalam sebuah
kotak.
Difikiran Sendu,
Bundanya akan hadir, suatu hari nanti. Hadir lagi. Walau sekarang hanya sepucuk
surat.
Raka berada
disitu, seolah faham kerinduan sosok gadis kecil yang manis itu kepada sosk
Ibundanya.
Usia Raka 2 tahun
diatas Sendu, dibatinnnya dia berjanji akan menjaga Sendu. Semampunya.
“Anakku yang manis. Mungkin jarak sedang menguji
kita, sekarang Bunda sibuk disini. Peri cantik bunda harus sabar yaa... Maafkan
keegoisan ayah dan bundamu yaa. Jadilah anak baik-baik, insyaallah jika ada
waktu bunda akan datang ke Yogyakarta.”
With
heart
Bunda
yang selalu rindu, Kirana
Semenjak kehadiran Raka, Sendu mulai membuka dirinya. Dia mulai bisa
tersenyum, Raka sudah seperti kakak kandungnya. Dia menuntun Sendu kemanapun ia
pergi dan menjadi mata sendu ketika didalam keramaian. Dia menceritakan kondisi
disekeliling Sendu. Kebutaan tidak menjadi halangan saat itu. Tak jarang mereka
duduk di pantai berdua, Raka dengan senang hati memainkan gitar diiringi suara
Sendu yang merdu.
“Sendu, apa kau
tidak lelah melihat kegelapan setiap hari?” Tanya Raka suatu ketika
“Entahlah ayah
sering mengajakku ke rumah sakit. Kata dokter, jalan satu-satunya hanyalah
operasi.” Ucap Sendu lemah.
“Nah itu kenapa
gak mau anak manis.” Sahut nenek Satinah dari dalam. Jalannya masih tegap
meskipun usianya sudah lanjut, dengan membawa secangkir teh hangat untuk mereka
berdua.
“Takut nek.”
Rengek Sendu dengan manjanya.
“Cucu nenek sudah
besar sekarang, sudah hampir 17 tahun kan?”
“Iya...”
“Ya udah harus
berani.”
Hari yang dinanti-nanti tiba,
Sendu bersedia menjalani operasi mata. Dia semangat sekarang. Semua orang yang
disayanginya berkumpul. Mbok Inem, Ayahnya, pak tukang kebun, Raka, dan nenek
Satinah. Ayahnya berjanji akan meluangkan waktu untuknya.
Hari ini tepat
tanggal 30 Desember, sehari sesudahnya hari yang special untuk Sendu, sweet
seventeen.
Setelah semua
berjalan dengan cukup lama, dokter keluar dari ruang operasi. Semuanya berdiri
dan berjalan masuk setelah dokter memberikan kode.
“Gimana manis,
apa sudah siap?” tanya dokter ramah, didampingi sester yang berpakaian
putih-putih itu.
“Sudah dokter “
jawab Sendu semangat.
Kini sebentar
lagi dia akan melihat betapa indahnya pemandangan alam yang sering diceritakan
Raka dan ayahnya. Sedetik lagi bila dikehendaki, gadis manis dengan ketegaran
yangluar biasa itubisa melihat wajah Raka yang selama ini selalu menemaninya.
Wajah riang Mbok Inem, dan wajah ayahnya yang mungkin sudah kabur dalam
ingatannya.
Dan akhirnya ..
seberkas cahaya datang bersama mimpi-mimpi yang selama ini dia pendam. Dia akan
bebas menulis tanpa harus menggunakan huruf braile lagi.
Malam hari, meski kondisi Sendu
belum pilih total. Sendu berada di balkon rumahnya memandangi foto keluarga
bahagia beberapa tahun silam. Dia tersentak saat ada yang memanggilnya dari
belakang.
“Sendu !”
terdengar suaranya semakin mendekat. Sendu membalikkan badannya.
“Hey kamu, kenapa
kesini ? sudah malam Raka” ujar Sendu.
“Tidak, kamu
tampak lebih riang sekarang. Tapi sepertinya ada yang masih difikirkan?”
selidik Raka.
“Hmm tidak.
Ternyata benar katamu, cahaya langit malam itu tidak pernah membosankan” ucap
Sendu memandangi dada langit. Jlas-jelas sedari tadi dia memandangi foto, bukan
langit.
“Kau merindukan
Bundamu? Bagaimana kalo kita ke pantai besok sore?” tanya Raka mengalihkan
perhatian.
“Hm boleh “ jawab
Sendu singkat.
“Okee
istirahatlah, pulihkan kondisimu itu dulu”
Sendu mengangguk
“Baiklah”
“Selamat malam
Sendu, semoga mimpi indah dengan bundamu”
Kalimat terakhir
Raka seperti tertelanditenggorokannya, tak terucap.
31 Desember 2010
Ada yang aneh diwajah Raka, ia terlihat sangat lesu saat bersama Sendu. Ada
sedikit kekecewaan disana, ditatapannya.
“Sendu .. “ ucapnya lirih.
“Iyaa ..” sahut Sendu, menoleh kepada Raka. Matanya menangkap sebuah wajah
yang gelisah.
“Sebenarnya .. malam ini aku akan kembali ke Tokyo, ayahku akan menikah
lagi dengan wanita pilihannya. Kau tau kan dia sudah lama membujang? Aku tidak
tahu kapan akan kembali” terangnya hati-hati.
“Apaa? Bukankah
kau bilang akan menemani setiap senjaku?” ujar Sendu menahan sesak.
“Keadaan ini yang
memaksaku, Sendu. Aku ingin menjaga perasaan ini untukmu. Jaga dirimu baik-baik
yaa. Akan ada yang mengisi harimu nanti. Kamu sanggup menjaga perassanmu
untukku kan?” ucap Raka penuh harap dan menatap wajah Sendu yang menunduk,
memandang pasir.
“Aku akan
menjaganya untukmu .. ditengah senja yang pertama kali yang kulihat bersamamu.
Terimakasih telah bersamaku selama ini, sudah menjadi mata hatiku. Diujung
bulan Desember ini, aku akan selalu merindukanmu, Raka ..”
“Akan terasa sepi
tanpamu Raka “ lanjutnya dalam hati.
Happy failed sweet seventeen, 31 Desember 2010
Bersambung ..
Langganan:
Komentar (Atom)