Kamis, 08 Januari 2015

Sayap lenyap;')

Aku ..
Untaian kata yang terlalu sering kubaca dibuku harianku.Bukan buku, lebih tepatnya.. jurnal dimana aku menuliskan semua yang aku alami. Setiap kali aku bosan, hanya Allah dan buku harianku yang aku jadikan pelampiasan tanpa tanggung jawab itu. Dan saat ini ada banyak tempat untuk aku menuang kata-kata, dimading kamar, dimading masjid bahkan kadang saat aku sedang lelah untuk mendengarkan suara guru yang dengan setianya duduk didepan kelas.
Hari ini pun, entah apa yang membuat semangat ini tibatiba hilang.Iya, seakan semangat itu seperti sayap sayap yang tibatiba lenyap, bukan patah.Sayap yang kupunyai itu hanyalah bayangan semu seperti dilayar LCD, aku sendiri tidak mampu menyentuhnya.Makanya sayap itu tidak patah, tapi lenyap seketika.

Aku merasa ada yang sulit aku jelaskan.Hanya desahan yang keluar dari nafas, itu saja temanku berkomentar.Bagaimana nantinya aku menyeritakan semuanya?Tidak, aku tidak bisa.Enggan dan tidak sudi.Aku sulit merangkai kata dalam berbicara jika suasana hatiku sedang tidak baik.Tapi yang aku tahu, aku ridu seseorang yang bahkan, mungkin sudah melupakanku.Jalan ini yang membuatku, menuntutku untuk tidak mengeluh. Dan disholat dhuha tadi, aku seperti terpaku dalam doa.Enggan kembali kekelas dan selalu ingin menuturkan semuanya kepada Dia.Saat ini, detik ini dan perasaan ini kembali bercampu aduk seperti kopi hitam pahit yang diaduk aduk.Pahit.Pahit.Pahit!Ah, aku tidak merindukan seseorang, aku.. ha..nya hanya takut akan ketidakpastian masa depan.Meski berulang kali kukatakan 'Allah bersamamu.always and never let me down'

Sudah .. sudah lupakan, bangkit dari kehampaan.Berkarya agar tidak terlalu jenuh menjalani datarnya suka dan duka.Kepakkan sayapmu~

Selasa, 06 Januari 2015

Senja Diakhir Desember



SENJA DIAKHIR DESEMBER


“Bunda ..Bunda“ teriakanakkecildariseberangjalan.
“SudahSendu, Bundamaupergi, kamusama Ayah yadisini” ucapseoranglaki-lakiumurnyasekitar 30 tahun.
Anak yang masihberumur 5 tahuntiumeronta-ronta, terisak.
“Ayah ..Bundajahaaat.”Ujaranakmanisitu, nafasnyatercekat. Tenggorokannyakeringtetapitetapberusahaberteriak.BerharapBundanyaturundaritaksi yang ber plat AB 9876 BC. Namuntaksiitubergerakperlahan, meninggalkanjalandepanrumah.
SosokIbu yang beradadibalikkacaitu, memandangiputrinyadariluar. Ada rasa engganmeninggalkananaksematawayangnyaitumenangis.Iaakanmerindukansaat-saatmembacakanayatsuci Al Quran untuknya. Seberkasembunada di kilatanmatakeluargakecil yang telahretakitu.
“Sendu, ayokitamasuk.Bundapastipulang” bujuk Rudi, ayahnya.
Anakkecildenganrambutpanjanghitamberkilauitumenurut, membiarkandirinyaberadadipundakAyahnya.Rasa lelahterlihatdiwajahnya.Sendumasihmengenakanpakaianseragamnya.
“Kuatkanhatimunak, semogakamutegar” bisik Rudi dalamhati.
Rudi memboponganaknyadengansegoreslukadihatinya, dalamkebimbangan.Iataktahubagaimanamenjadi ayah sekaligusibu yang baikuntukanakkesayangannyaitu. Sedangkandiasibukdikantor.Pastiakanbanyakkasihsayang yang berkurang.

                Semenjakkejadianitu, Senduhanyutdalamkesendiriannya.Diabahkantidakmemperdulikandirinya.Wajahnyatampaksemakinsendu.
“Sendu, Mbokpunyakabargembiranih. Sendumautahu?” celetukMbokInemdenganriangnya.
“ApaMbok?” tanyaSendudatar, diatidaktertariksamasekali.
“Hmmm tebakdulu dong, hehe” jawabMbokInemmembuatpenasaranSendu.
“Mbokdapetrejekinomplokyaa?” tebakSendu.
“Woo salah. Ada temenbarukamunon. Namanya den Raka, diabarupindahkemaren. DirumahnenekSatinah.
“TrusSenduharusgimana?Tanya nyasinis.
“Diapengenmaenkesinicantik” ucapperempuanparuhbayaitu, mencubitpipiSendu.
“Ohhh..”
Beberapasaatkemudian bell gerbangberbunyi.TerdenganpaksatpammembukakangerbangdanMbokInemnyelonongpergi.
“SiapaMbok?” teriakSendudariteras.
“Pak pos ..eh den Raka, marisilahkanmasuk” sahutMbokInemsedikittidakjelas.
“Apaa?Rakatukangpos?”
“Bukaaansayang, maksudnyaadapaktukangposjuga”
“SuratdariSingapurMbak, mohontandatangandisini” sela tukang pos yang biasanya memakai sesuatu yang berbau oranye itu.
“Oh ya? Dari siapa ya? Saya kira tidak ada saudara pak Rudiyang berada disana” kata Mbok Inem dalam hati.
“Silahkan dibuka, saya pamit Mbak. Monggo” pamit pak pos.
Mbok Inem segera membawa paket yang bersampul cokelat itu.  Disana tertuliskan
“To Sendu Unzilah Fauiza
Jl. Candra Kirana No6 Yogyakarta”
Dan ketika Mbok Inem membalik sampul, ada nama Kirana, Ibunda Sendu. Segera langkahnya dipercepat.
“Sendu .. ada kabar gembira lagi sayang !! “ teriak Mbok Inem lantang.
“Apalagi Mbok?”
“Bundamu mok Inem mengirimkan sebuah surat” jawab Mbok Inem lalu memeluk Sendu.
Ada rasa haru saat dia mengatakan itu. Sudah dua tahun ini, Kirana tidak pernah memberikan kabar. Tak bisa tergambar lagi kerinduan Sendu yang tersimpan didalam sebuah kotak.
Difikiran Sendu, Bundanya akan hadir, suatu hari nanti. Hadir lagi. Walau sekarang hanya sepucuk surat.
Raka berada disitu, seolah faham kerinduan sosok gadis kecil yang manis itu kepada sosk Ibundanya.
Usia Raka 2 tahun diatas Sendu, dibatinnnya dia berjanji akan menjaga Sendu. Semampunya.
“Anakku yang manis. Mungkin jarak sedang menguji kita, sekarang Bunda sibuk disini. Peri cantik bunda harus sabar yaa... Maafkan keegoisan ayah dan bundamu yaa. Jadilah anak baik-baik, insyaallah jika ada waktu bunda akan datang ke Yogyakarta.”

                                                                                                                                                With heart
Bunda yang selalu rindu, Kirana


Semenjak kehadiran Raka, Sendu mulai membuka dirinya. Dia mulai bisa tersenyum, Raka sudah seperti kakak kandungnya. Dia menuntun Sendu kemanapun ia pergi dan menjadi mata sendu ketika didalam keramaian. Dia menceritakan kondisi disekeliling Sendu. Kebutaan tidak menjadi halangan saat itu. Tak jarang mereka duduk di pantai berdua, Raka dengan senang hati memainkan gitar diiringi suara Sendu yang merdu.
“Sendu, apa kau tidak lelah melihat kegelapan setiap hari?” Tanya Raka suatu ketika
“Entahlah ayah sering mengajakku ke rumah sakit. Kata dokter, jalan satu-satunya hanyalah operasi.” Ucap Sendu lemah.
“Nah itu kenapa gak mau anak manis.” Sahut nenek Satinah dari dalam. Jalannya masih tegap meskipun usianya sudah lanjut, dengan membawa secangkir teh hangat untuk mereka berdua.
“Takut nek.” Rengek Sendu dengan manjanya.
“Cucu nenek sudah besar sekarang, sudah hampir 17 tahun kan?”
“Iya...”
“Ya udah harus berani.”

                Hari yang dinanti-nanti tiba, Sendu bersedia menjalani operasi mata. Dia semangat sekarang. Semua orang yang disayanginya berkumpul. Mbok Inem, Ayahnya, pak tukang kebun, Raka, dan nenek Satinah. Ayahnya berjanji akan meluangkan waktu untuknya.
Hari ini tepat tanggal 30 Desember, sehari sesudahnya hari yang special untuk Sendu, sweet seventeen.
Setelah semua berjalan dengan cukup lama, dokter keluar dari ruang operasi. Semuanya berdiri dan berjalan masuk setelah dokter memberikan kode.
“Gimana manis, apa sudah siap?” tanya dokter ramah, didampingi sester yang berpakaian putih-putih itu.
“Sudah dokter “ jawab Sendu semangat.
Kini sebentar lagi dia akan melihat betapa indahnya pemandangan alam yang sering diceritakan Raka dan ayahnya. Sedetik lagi bila dikehendaki, gadis manis dengan ketegaran yangluar biasa itubisa melihat wajah Raka yang selama ini selalu menemaninya. Wajah riang Mbok Inem, dan wajah ayahnya yang mungkin sudah kabur dalam ingatannya.
Dan akhirnya .. seberkas cahaya datang bersama mimpi-mimpi yang selama ini dia pendam. Dia akan bebas menulis tanpa harus menggunakan huruf braile lagi.

                Malam hari, meski kondisi Sendu belum pilih total. Sendu berada di balkon rumahnya memandangi foto keluarga bahagia beberapa tahun silam. Dia tersentak saat ada yang memanggilnya dari belakang.
“Sendu !” terdengar suaranya semakin mendekat. Sendu membalikkan badannya.
“Hey kamu, kenapa kesini ? sudah malam Raka” ujar Sendu.
“Tidak, kamu tampak lebih riang sekarang. Tapi sepertinya ada yang masih difikirkan?” selidik Raka.
“Hmm tidak. Ternyata benar katamu, cahaya langit malam itu tidak pernah membosankan” ucap Sendu memandangi dada langit. Jlas-jelas sedari tadi dia memandangi foto, bukan langit.
“Kau merindukan Bundamu? Bagaimana kalo kita ke pantai besok sore?” tanya Raka mengalihkan perhatian.
“Hm boleh “ jawab Sendu singkat.
“Okee istirahatlah, pulihkan kondisimu itu dulu”
Sendu mengangguk “Baiklah”
“Selamat malam Sendu, semoga mimpi indah dengan bundamu”
Kalimat terakhir Raka seperti tertelanditenggorokannya, tak terucap.




31 Desember 2010
Ada yang aneh diwajah Raka, ia terlihat sangat lesu saat bersama Sendu. Ada sedikit kekecewaan disana, ditatapannya.
“Sendu .. “ ucapnya lirih.
“Iyaa ..” sahut Sendu, menoleh kepada Raka. Matanya menangkap sebuah wajah yang gelisah.
“Sebenarnya .. malam ini aku akan kembali ke Tokyo, ayahku akan menikah lagi dengan wanita pilihannya. Kau tau kan dia sudah lama membujang? Aku tidak tahu kapan akan kembali” terangnya hati-hati.
“Apaa? Bukankah kau bilang akan menemani setiap senjaku?” ujar Sendu menahan sesak.
“Keadaan ini yang memaksaku, Sendu. Aku ingin menjaga perasaan ini untukmu. Jaga dirimu baik-baik yaa. Akan ada yang mengisi harimu nanti. Kamu sanggup menjaga perassanmu untukku kan?” ucap Raka penuh harap dan menatap wajah Sendu yang menunduk, memandang pasir.
“Aku akan menjaganya untukmu .. ditengah senja yang pertama kali yang kulihat bersamamu. Terimakasih telah bersamaku selama ini, sudah menjadi mata hatiku. Diujung bulan Desember ini, aku akan selalu merindukanmu, Raka ..”
“Akan terasa sepi tanpamu Raka “ lanjutnya dalam hati.
Happy failed sweet seventeen, 31 Desember 2010
Bersambung ..